Ustadz Pilih Capres Cawapres Yang Mana?

4 06 2009

Ustadz Pilih Capres Cawapres Yang Mana?
Kamis, 28 Mei 2009 10:31
(disadur dari warnaislam.com)

pasangan-capres-cawapres2

Pertanyaan

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

ust.sarwat yg saya hormati,sebentar lagi umat islam di indonesia akan memilih pemimpin negeri ini.Tentunya masalah ini tidak bisa dianggap sepele karena begitu besar implikasinya buat muslim indonesia sebagai kaum mayoritas…dari 3 pasangan yang ada yang manakah menurut bapak tuk kami pilih?

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

khoerul arif

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tentunya pertanyaan ini disampaikan dengan sepenuh keyakinan bahwa saya bukan ahli di bidang politik. Sehingga kalau pun pertanyaan ini dijawab, jawabannya tentu jauh dari harapan penanya.

Selain itu, panasnya arus persaingan di tengah ketiga pasangan kandidat capres dan cawapres itu cenderung terjebak di area kemasan. Lihat saja iklan dan kampanye mereka di TV yang cenderung terkonsentrasi pada pencitraan diri, tidak sampai ke esensi.

Gaya ini dalam hemat kami kurang memberikan gambaran hakikat dari masing-masing calon. Yang tampil hanya pencitraan dan pengemasan, sementara isi dan hakikat serta warna asli jati diri mereka, nyaris tidak pernah disentuh.

Model pencitraan ini buat kalangan yang kritis seperti antum tentu sangat sangat tidak memuaskan. Tetapi sebaliknya, amat efektif buat kalangan yang lebih awam, dimana dukungan mereka bisa saja hanya semata dilandasi oleh alasan-alasan sederhana yang tidak ilmiyah.

Dan konon 60 persen rakyat kita ini tidak lulus SD yang sama sekali tidak mempermasalahkan hal-hal yang terkait dengan esensi, dan lebih tertarik bicara kemasan. Maka klop lah sudah. Apalagi usara mereka adalah suara yang sangat potensial.

Dan konyolnya, demokrasi ala Indonesia masih sebatas demokrasi yang digerakkan oleh mesin industri yang lebih mengedepankan kemasan dan pencitraan. Kita tidak pernah tahu, kalau ada kandidat yang jadi presiden, lantas bagaimana bentuk implementasi yang nyata dari janji-janji mereka. Kita juga tidak pernah dibikin paham, kalau seandainya apa yang mereka janjikan itu ternyata meleset, tidak sesuai dengan apa yang mereka janjikan, lantas apa yang menjadi konsekuensi terhadap kegagalan mereka. Lebih parah lagi, kita sama sekali tidak pernah menyepakati ‘alat ukur’ dari keberhasilan atau kegagalan para penguasa negeri ini. Sehingga apakah seorang presiden itu berhasil atau gagal, hanya bisa diketahui lima tahun lagi, yaitu apakah dia terpilih lagi atau tidak.

Tiga Pasangan Calon Dengan Raport Merah? Sebagian kalangan ada yang merasa optimis bahwa terpilihnya pemimpin yang baik, akan menentukan baik buruknya nasib bangsa ini ke depan. Sehingga dengan semangat 45, mereka asik melakukan aksi dukung mendukung calon pujaan hati mereka. Ada yang dengan motiv mendapatkan limpahan berkah, jadi menteri atau dapat jatah proyek ini dan itu, tapi ada juga yang tulus tanpa mengharapkan cipratan apa-apa. Dan ada juga yang dibohongi dan ditipu mentah-mentah. Tetapi sebagian kalangan lain ada yang pesimis melihat para calon penguasa itu. Sebab ketiga pasang calon itu bukan wajah-wajah yang asing lagi. Kinerja dan prestasi mereka sudah pernah mereka tunjukkan selama ini. Karena tiga pasang calon itu ada yang sudah pernah jadi presiden dan ada yang sudah pernah jadi wakil presiden. Dan seperti apa wajah Indonesia saat mereka jadi penguasa, tentu semua rakyat sudah bisa menilainya sendiri. Maka kalau di sebagian kalangan itu terjadi kekecewaan atas ketiga pasang calon penguasa itu, tentu kita bisa maklum. Ibaratnya, para calon penguasa itu adalah para pemilik raport merah semua, di balik -tentu saja- keberhasilan mereka, atau apa yang mereka klaim sebagai keberhasilan.

Presiden : Penentu Segalanya?

Sebagian kalangan lain lagi malah tidak terlalu berharap banyak dari pilpres. Mereka sangat tidak yakin kalau presiden suatu negeri bisa mengubah nasib bangsa itu. Siapa pun presidennya. Sebab negeri kita pada hakikatnya tidak dipimpin oleh hanya seorang presiden. Di luar garis struktur pemerintahan formal, ada kekuatan lain yang jauh lebih besar dan dahsyat.

Misalnya raksasa kekuatan politik negara adidaya, juga raksasa kekuatan ekonomi yahudi dunia. Juga termasuk sekian banyak raksasa-raksasa lain yang tidak kelihatan oleh mata telanjang, tapi semua elemen bangsa bisa merasakan keberadaannya. Dengan keadaan yang demikian, siapapun yang jadi presiden, akan bertekuk lutut kepada raksasa-raksasa dunia itu.

Bahkan naik tidaknya para calon itu menjadi pasangan presiden dan wakil, justru harus mendapat ‘restu’ dari para raksasa itu. Sebab di luar kepentingan rakyat dan bangsa, rupanya para raksasa dunia itu jauh lebih merasa punya kepentingan. Dengan kekuatan politik, ekonomi, jerat hutang, termasuk senjata dan lobi-lobi internationalnya, bangsa mana pun akan bertekuk lutut dengan kepala tertunduk. Pasrah akan nasibnya serta rela diperlakukan apa saja.

Kalau ketiga pasang calon yang mau kita pilih itu ternyata adalah sosok-sosok seperti di atas, kira-kira apa harapan yang mau kita berikan buat mereka? Sebagai gambaran kasarnya begini, seorang Saddam Hussein mati digantung di negerinya sendiri semata-mata karena dia tidak mau mengatakan tidak ketika dipaksa bila iya. Lepas dari apakah kita setuju dengan kebijakan si Saddam Husein itu. Nah, kira-kira para calon penguasa negeri kita ini, siapkah mereka mengatakan ‘tidak’ di depan para penguasa dunia itu? Siapkah mereka dihukum digantung seperti Saddam, hanya karena dia punya harga diri dan tidak mau diatur-atur oleh penguasa luar yang zalim itu? Sayangnya kampanye politik mereka sama sekali tidak pernah menyentuh wilayah ini. Padahal morat-maritnya bangsa kita ini, selain karena kesalahan kita secara managerial, tetapi pengaruh dari kemauan raksasa dunia itu tidak bisa dipungkiri.

Secara hitungan kasar, negeri kita ini adalah negeri kaya yang bisa menghidupi diri sendiri. Kita punya cadangan minyak yang masih bisa dieskplorasi lebih jauh. Gas bumi dan batu bara kita pun masih berlimpah. Sementara para ahli nuklir kita pun sudah ready to use untuk mendirikan lusinan reaktor nuklir yang bisa menghasilkan energi yang murah dan aman. Sehingga listrik sebagai infrastruktur paling dasar di negeri ini tidak byar pet. Tapi mana boleh kita mendirikan reaktor nuklir untuk energi? Bisa-bisa negeri kita akan di-IRAN-kan oleh para penguasa dunia. Mana boleh kita mengolah minyak bumi kita sendiri? Bisa-bisa kita diboikot ini dan itu, sehingga semua maskapai kita tidak bisa terbang lantaran suku cadangnya tidak dijual kepada kita. Kenapa kita tidak membangun industri dirgantara sendiri? Jawabnya sudah kok, kita sudah pernah punya. Tapi kemarin kan secara sistemik dihancurkan, sehingga lagi-lagi kita harus bergantung kepada negeri adidaya.

Lalu apa peran seorang penguasa di negeri yang segala sesuatunya harus -lagi-lagi- bergantung kepada negeri lain yang punya kekuatan raksasa? Buat saya, yang jadi masalah bukan siapa presidennya, tapi yang jadi masalah, kenapa kita masih dijajah? Lantas buat apa punya presiden tapi negeri kita tetap terjajah? Sayangnya, dari tiga pasang kandidat itu belum satu pun yang bisa menjawab masalah ini. Sayang sekali.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ust Ahmad Sarwat, Lc

Ahmad Sarwat, Lc
(Dosen Kampussyariah.com)


Actions

Information

Leave a comment